Kita Hanya Bermain Perasaan
09.04 – Sepagi ini, percakapan serius sudah mendarat
di aplikasi whatsapp. Entah pertanda baik atau buruk. Aku pernah sejatuh ini
sebelumnya. Dan aku berusaha untuk tidak terjatuh lagi. Sekian lama aku terus
memilih dan aku berhasil. Tapi tahun ini aku gagal...
Sekarang bagaimana perasaanmu ketika semua mata
tertuju pada kita, tapi kita tidak merasakan hal itu? Bagaimana kamu bisa
mengetahui perasaanku yang katanya kamu berusaha mengerti? Bagaimana kita bisa
saling intropeksi ketika kamu malah pergi tidak menuntunku? Bagaimana bisa aku
jatuh cinta pada lelaki bajingan seperti mu? Bagaimana bisa?
Tuhan berkata lain ketika aku bilang akan bangkit
yang kemudian Tuhan menuntunku hingga ke puncak lalu kita bertemu dan aku
justru jatuh setelah bertemu kamu. Dan kini disaat aku jatuh, kamu pergi
meninggalkanku dengan membawa kata “maaf” bukan itu yang aku inginkan. Bukan.
Tidakkah kamu bertahan sebentar saja? Tidakkah kamu
bertahan sekali lagi. Kenapa usahamu hanya seujung kuku pendek lalu panjang
lalu di potong. Kenapa? Aku tidak pernah berharap akan menjadi seperti ini. Tapi
ini membuat aku takut untuk memulai yang baru. Memulai kejatuhan, kesakitan,
kegalauan, kerinduan yang fana. Aku takut. Kamu yang membuat aku takut, kembali.
Kita terlalu sebentar. Ya. Semuanya main-main. Main
sayang-sayangan yang sebentar. Main rindu-rinduan yang sebentar. Main peluk-pelukan
yang sebentar. Main cium bibir yang sebentar. Main getaran perasaan yang
sebentar. Semuanya sebentar. Padahal, ketika jarak memisahkan kita karena
kesibukan masing-masing kuncinya adalah kepercayaan. Tapi, tidak dalam kita. Kunci
untuk kita adalah mengerti. Memahami. Tapi, kita tidak melakukannya.
Kita benar-benar tidak pernah ada.
23 Oktober 2016
Aku.
0 komentar