Kamu menyerah

Menyerah memang bukan bagian dari solusi. Melainkan sebuah keputusasaan akan hidup yang telah/sedang dilakukan. Itulah yang tercermin pada dirimu, setidaknya untuk saat ini.

Aku sedang berusaha bangkit untuk kembali bisa bersabar dengan segala kekurangan dan kelemahanmu. Aku sedang berusaha kembali untuk memberikan hormat penuh padamu sebagai seorang pria dan seorang imam. Tapi, kamu berbohong. Entah apa yang dipikiranmu saat itu. Kebohonganmu melebihi sikap dan sifatmu yang membuatku harus semakin extra sabar dan bertanya-tanya "apa mungkin? Ku lihat di peta tidak demikian. Kenapa harus berbohong?" Mungkin maksudmu dengan berbohong semua akan baik-baik saja. Nyatanya tidak. Aku bersitegas kamu berbohong namun berbanding terbalik denganmu dan itu membuatmu MENYERAH.

Lagi, aku sedang dalam keadaan terlemah dalam hidup hingga harus seperti ini kamu memberikan keputusan yang membuat detak jantung dan pernapasan kembali beradu. Haruskah dilakukan? Tidakkah kamu bertahan sebentar saja jika memang ingin menyudahi? Haruskah aku yg menanggung ini semua? Haruskah pernapasanku mengetahui ini semua? Daripada perlahan-lahan seperti ini kenapa tidak dilakukan sejak dulu? Sejak aku masih meminta perpisahan ini?

Sebentar, aku bukannya tidak setuju dengan keputusanmu. Aku sangat setuju. Namun, bisakah kamu buat lebih panjang waktunya? Biarkan aku bernapas lega terlebih dahulu, setidaknya demikian.

Mari kita kembali ke masa lalu sebentar. Ah sudahlah. Biarlah aku simpan. Ku hormati keputusanmu, mari sama-sama kita lakukan. Setelah itu kita selesai, seperti apa yang kita harapkan.

Dan inilah akhir dari kata menyerah. Menyerah untuk sementara tidak berarti, keputusan tetap keputusan. Menyerah untuk selamanya. Menyelesaikan masalah dengan kata menyerah. Ya.

Menyerah.
2 Mei 2018.

Share:

0 komentar